Jumat, 26 Oktober 2012

Potret Perempuan Terpelajar dalam Belenggu Kapitalisme


Memandang potret nasib perempuan saat ini kita akan menjumpai betapa perempuan di  berbagai belahan dunia saat ini masih jauh dari kemuliaan dan kesejahteraan. Tak sedikit fakta perempuan hari ini yang masih berada di kubangan keterpurukan.   Kemiskinan, kebodohan, kekurangan pangan-sandang-papan, derajat kesehatan buruk masih menghiasi wajah perempuan dunia.  Belum lagi soal ancaman keamanan dan kehormatan seperti  pelecehan, kekerasan, eksploitasi dan sebagainya.

Salah satu gerbang utama agar perempuan mencapai prestasi puncak dalam keberhasilan ekonomi adalah pendidikan tinggi. Untuk itulah UNESCO mendeklarasikan misi peningkatan peran perempuan di level pendidikan tinggi (promoting role of women in higher education) yang berlangsung sejak 1998, sebagai bagian dari visinya dalam World Conference on Higher Education dalam menghadapi abad ke-21 (WORLD CONFERENCE ON HIGHER EDUCATION, Higher Education in the Twenty-first Century ; Vision and Action, UNESCO, Paris, 5-9 October 1998). Bahkan UNESCO sendiri secara massif meluncurkan strategi pengarusutamaan gender (Gender Mainstreaming) sebagai strategi jangka menengah UNESCO dari 2002-2007 hingga 2008-2013 (UNESCO Medium Term Strategy, 2008-2013, Paris UNESCO, 2008). Rangkaian program dari UNESCO ini tidak hanya bicara bagaimana meningkatkan akses perempuan terhadap pendidikan tinggi, tetapi juga bagaimana melibatkan perempuan dalam manajemen pendidikan tinggi sampai pada level pembuat kebijakan.
Perempuan terpelajar adalah perempuan dengan tingkat pendidikan mencapai perguruan tinggi. Atau secara demografi, perempuan terpelajar adalah populasi perempuan dengan usia 19 tahun ke atas yang memperoleh kesempatan menempuh pendidikan tinggi dari jenjang D-3 sampai dengan S-3. Namun disayangkan, Angka partisipasi kasar (APK) perempuan ke pendidikan tinggi tahun 2003 masih 10,14 persen dan pada tahun 2008 baru mancapai sekitar 14,58 persen (Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI). Kenaikan yang belum signifikan, karena pembandingnya adalah puluhan juta jiwa perempuan Indonesia dengan range usia masuk perguruan tinggi.
Padahal di abad informasi ini, kalangan perempuan terpelajar dianggap mewakili komunitas yang paling signifikan perannya dalam perubahan sosial. Komunitas yang disebut oleh Hermawan Kartajaya sebagai Youth-Women-Netizen yaitu mereka yang muda (Youth), kaum perempuan (Women), dan pengguna internet (Netizen). Mereka ini mewakili era new wave culture, yaitu era interaksi horizontal akibat globalisasi teknologi informasi yang kian massif.
Muda, cerdas, dinamis dan berwawasan luas itulah kira-kira karakter perempuan terpelajar saat ini. Mereka adalah segmen yang diklaim paling ideal oleh banyak kalangan, apalagi di mata kaum feminis. Seruan kemajuan dan profesionalisme yang seolah bisa dipenuhi oleh kalangan perempuan terpelajar ini akhirnya membuat mereka sering dianggap mewakili simbol emansipasi, modernitas dan produktivitas kaum perempuan. Namun betulkah demikian?
Ukuran-ukuran kemajuan seperti besarnya keterwakilan politik perempuan di lembaga legislatif, besarnya partisipasinya di ranah publik, besarnya partisipasi perempuan-perempuan dalam pendidikan tinggi (perempuan terpelajar), besarnya keterlibatan perempuan di ranah decision making / pengambilan kebijakan, atau perempuan yang sukses berkarir/berbisnis, adalah ukuran-ukuran yang akhirnya dijadikan standar keberhasilan perjuangan dalam memajukan dan menyejahterakan perempuan. Serangkaian kebijakan pun lalu dibuat dengan harapan memajukan dan menyejahterakan perempuan, meski tanpa  disadari serangkaian kebijakan lainnya berkebalikan dan justru membawa kepada ketidakmuliaan  perempuan.
Ironisnya, rangkaian kebijakan ini bukan hanya gagal dalam memajukan perempuan juga membawa perempuan pada setidaknya dua bahaya besar; yaitu (1) disorientasi perannya sebagai ibu dan pilar utama keluarga, (2) eksploitasi ilmu dan keahliannya untuk kepentingan industri kapitalistik.
Andai kita semua sadar bahwa akar beragam persoalan  perempuan adalah terletak pada sistem kapitalis yang watak genialnya memang rusak dan  merusak, maka mestinya penolakan terhadap sistem ini yang mestinya dijadikan sebagai landasan berbagai  perjuangan pemberdayaan perempuan.  Betapa tidak, sistem kapitalis adalah sistem yang meminimkan peran negara dalam melindungi masyarakat, bahkan cenderung eksploitatif termasuk dalam hal ini terhadap perempuan.
Salah satu dari kekeliruan mendasar Kapitalisme adalah lepas tangannya negara dalam mengelola institusi pendidikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Ini sungguh bertentangan dengan sabda Rasulullah Saw : Imam adalah ibarat pengembala dan dialah yang akan bertanggung jawab terhadap gambalaannya” (HR Muslim).  Dan juga hadits yang artinya : ”Pemimpin manusia adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya” (HR Muslim).
 Selain itu watak “imperialistik” dari kapitalisme  juga telah menjadikan perempuan sebagai objek penjajahan dengan pengarusutamaan gender sebagai pintu masuknya, termasuk di dunia pendidikan tinggi. Targetnya antara lain menciptakan buruh murah, menjadikan perempuan sebagai kapstok berjalan dan sebagai pasar produk beragam industry, termasuk menjadikan perempuan terdidik dan terpelajar sebagai agen-agen pengemban  kapitalisme.  Arus liberalisasi yang demikian kuat ditiupkan kapitalisme telah membuat  perempuan-perempuan terseret hingga jauh meninggalkan ajaran agamanya dan membebek pada kapitalisme. Target utama pengemban ideologi ini jelas untuk melanggengkan hegemoni ekonomi, politik, sekaligus memenangkan perang peradaban.
Oleh karena itu, upaya penyelesaian persoalan perempuan semestinya kita tarik dari akar masalahnya.  Sudah saatnya kita tinggalkan kapitalisme dan kembali kepada peradaban Islam sebagai sistem yang  telah diturunkan oleh Allah SWT untuk dijadikan pedoman bagi manusia di muka bumi ini. 
Di dalam peradaban Islam, perempuan diposisikan sebagai sosok yang dapat memberikan kontribusi besar dalam membangun sebuah peradaban, tanpa mengalami disorientasi peran dan dilema keilmuannya. Karena peradaban Islam tegak di atas aturan-aturan Sang Pencipta, Allah Swt yang telah menciptakan laki-laki dan perempuan dan mengatur kehidupan manusia secara adil dan seimbang.

Oleh: Siti NH

2 komentar:

  1. Ahahaha ..
    googling tentang eksploitasi perempuan, eh yg muncul blognya neng hafni :D

    BalasHapus
  2. hahahahaha aya-aya wae, ini tulisan nya dari anak BGC UIN (sekarang udah ga ada sih BGC ny) :D

    BalasHapus

Bagaimana pendapat anda mengenai Blog ini???