Memandang
potret nasib perempuan saat ini kita akan menjumpai betapa perempuan di berbagai belahan dunia saat ini masih jauh
dari kemuliaan dan kesejahteraan. Tak sedikit fakta perempuan hari ini yang
masih berada di kubangan keterpurukan. Kemiskinan, kebodohan,
kekurangan pangan-sandang-papan, derajat kesehatan buruk masih menghiasi wajah
perempuan dunia. Belum lagi soal ancaman keamanan dan kehormatan
seperti pelecehan, kekerasan, eksploitasi dan sebagainya.
Salah satu
gerbang utama agar perempuan mencapai prestasi puncak dalam keberhasilan
ekonomi adalah pendidikan tinggi. Untuk itulah UNESCO mendeklarasikan misi
peningkatan peran perempuan di level pendidikan tinggi (promoting role of women in higher education) yang berlangsung sejak
1998, sebagai bagian dari visinya dalam
World Conference on Higher Education dalam menghadapi abad ke-21 (WORLD
CONFERENCE ON HIGHER EDUCATION, Higher
Education in the Twenty-first Century ; Vision and Action, UNESCO,
Paris, 5-9 October 1998). Bahkan UNESCO sendiri secara massif
meluncurkan strategi pengarusutamaan gender (Gender Mainstreaming) sebagai strategi jangka menengah UNESCO dari
2002-2007 hingga 2008-2013 (UNESCO Medium Term Strategy, 2008-2013, Paris UNESCO,
2008). Rangkaian program dari UNESCO ini tidak hanya bicara bagaimana
meningkatkan akses perempuan terhadap pendidikan tinggi, tetapi juga bagaimana
melibatkan perempuan dalam manajemen pendidikan tinggi sampai pada level
pembuat kebijakan.
Perempuan
terpelajar adalah perempuan dengan tingkat pendidikan mencapai perguruan
tinggi. Atau secara demografi, perempuan terpelajar adalah populasi perempuan
dengan usia 19 tahun ke atas yang memperoleh kesempatan menempuh pendidikan
tinggi dari jenjang D-3 sampai dengan S-3. Namun disayangkan, Angka partisipasi
kasar (APK) perempuan ke pendidikan tinggi tahun 2003 masih 10,14 persen dan
pada tahun 2008 baru mancapai sekitar 14,58 persen (Data dari Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI). Kenaikan yang belum
signifikan, karena pembandingnya adalah puluhan juta jiwa perempuan Indonesia
dengan range usia masuk perguruan tinggi.
Padahal di abad
informasi ini, kalangan perempuan terpelajar dianggap mewakili komunitas yang
paling signifikan perannya dalam perubahan sosial. Komunitas yang disebut oleh
Hermawan Kartajaya sebagai Youth-Women-Netizen
yaitu mereka yang muda (Youth),
kaum perempuan (Women), dan pengguna
internet (Netizen). Mereka ini
mewakili era new wave culture, yaitu
era interaksi horizontal akibat globalisasi teknologi informasi yang kian
massif.
Muda, cerdas,
dinamis dan berwawasan luas itulah kira-kira karakter perempuan terpelajar saat
ini. Mereka adalah segmen yang diklaim paling ideal oleh banyak kalangan,
apalagi di mata kaum feminis. Seruan kemajuan dan profesionalisme yang seolah
bisa dipenuhi oleh kalangan perempuan terpelajar ini akhirnya membuat mereka
sering dianggap mewakili simbol emansipasi, modernitas dan produktivitas kaum
perempuan. Namun betulkah demikian?
Ukuran-ukuran
kemajuan seperti besarnya keterwakilan politik perempuan di lembaga legislatif,
besarnya partisipasinya di ranah publik, besarnya partisipasi
perempuan-perempuan dalam pendidikan tinggi (perempuan terpelajar), besarnya
keterlibatan perempuan di ranah decision
making / pengambilan kebijakan, atau perempuan yang sukses
berkarir/berbisnis, adalah ukuran-ukuran yang akhirnya dijadikan standar
keberhasilan perjuangan dalam memajukan dan menyejahterakan perempuan.
Serangkaian kebijakan pun lalu dibuat dengan harapan memajukan dan
menyejahterakan perempuan, meski tanpa
disadari serangkaian kebijakan lainnya berkebalikan dan justru membawa
kepada ketidakmuliaan perempuan.
Ironisnya,
rangkaian kebijakan ini bukan hanya gagal dalam memajukan perempuan juga
membawa perempuan pada setidaknya dua bahaya besar; yaitu (1) disorientasi
perannya sebagai ibu dan pilar utama keluarga, (2) eksploitasi ilmu dan
keahliannya untuk kepentingan industri kapitalistik.
Andai kita
semua sadar bahwa akar beragam persoalan
perempuan adalah terletak pada sistem kapitalis yang watak genialnya
memang rusak dan merusak, maka mestinya
penolakan terhadap sistem ini yang mestinya dijadikan sebagai landasan
berbagai perjuangan pemberdayaan
perempuan. Betapa tidak, sistem kapitalis adalah sistem yang meminimkan
peran negara dalam melindungi masyarakat, bahkan cenderung eksploitatif
termasuk dalam hal ini terhadap perempuan.
Salah satu dari kekeliruan mendasar Kapitalisme adalah lepas tangannya negara dalam
mengelola institusi pendidikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Ini sungguh bertentangan dengan
sabda Rasulullah Saw : ”Imam adalah ibarat pengembala dan dialah yang
akan bertanggung jawab terhadap gambalaannya” (HR Muslim). Dan juga hadits yang artinya : ”Pemimpin
manusia adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas
rakyat yang diurusnya” (HR Muslim).
Selain itu watak “imperialistik” dari
kapitalisme juga telah menjadikan perempuan sebagai objek penjajahan
dengan pengarusutamaan gender sebagai pintu masuknya, termasuk di dunia
pendidikan tinggi. Targetnya antara lain menciptakan buruh murah, menjadikan
perempuan sebagai kapstok berjalan dan sebagai pasar produk beragam industry,
termasuk menjadikan perempuan terdidik dan terpelajar sebagai agen-agen
pengemban kapitalisme. Arus
liberalisasi yang demikian kuat ditiupkan kapitalisme telah membuat perempuan-perempuan terseret hingga jauh
meninggalkan ajaran agamanya dan membebek pada kapitalisme. Target utama
pengemban ideologi ini jelas untuk melanggengkan hegemoni ekonomi, politik,
sekaligus memenangkan perang peradaban.
Oleh karena
itu, upaya penyelesaian persoalan perempuan semestinya kita tarik dari akar
masalahnya. Sudah saatnya kita tinggalkan kapitalisme dan kembali kepada
peradaban Islam sebagai sistem yang
telah diturunkan oleh Allah SWT untuk dijadikan pedoman bagi manusia di
muka bumi ini.
Di dalam
peradaban Islam, perempuan diposisikan sebagai sosok yang dapat memberikan
kontribusi besar dalam membangun sebuah peradaban, tanpa mengalami disorientasi
peran dan dilema keilmuannya. Karena peradaban Islam tegak di atas
aturan-aturan Sang Pencipta, Allah Swt yang telah menciptakan laki-laki dan
perempuan dan mengatur kehidupan manusia secara adil dan seimbang.
Oleh: Siti NH
Ahahaha ..
BalasHapusgoogling tentang eksploitasi perempuan, eh yg muncul blognya neng hafni :D
hahahahaha aya-aya wae, ini tulisan nya dari anak BGC UIN (sekarang udah ga ada sih BGC ny) :D
BalasHapus