Secara bahasa
kata aql mempunyai aneka makna,diantaranya al-hijr atau an-nuha yang berarti
kecerdasan. Sedangkan kata kerja (fi’il) ‘aqala artinya meningkat atau menawan.
Oyang yang menggunakan aqalnya yaitu orang yang dapat mengikat atau menawan
hawa nafsunya.
Menurut Ibrahim
Madkur, akal juga dapat dipahami sebagai suatu potensi rohaniuntuk membedakan
antar haq dan bathil. Dengan akalnya manusia dapat mengetahui amanah dan
kewajibannya. Akal adalah pemahaman dan pemikiran, akal juga merupakan petunjuk
yang membedakan hidayah dan kesesatan.
Akal memiliki
aneka makna dan fungsi; pertama, akal adalah instrument jiwa yang membedakan
manusia dengan mahkluk lainnya. Kedua, dengan akal manusia dapat menemukan,
mengembangkan dan mengkontruksi, bahkan menciptakan ilmu pengetahuan. Ketiga, dengan
akal manusia dapat mengendalikan hawa nafsunya.
Berpikir adalah fungsi akal, dengan berpikir,
manusia memanfaatkan akalnya untuk memahami hakikat segala sesuatu. Hakikat
segala sesuatu adalah kebenaran, dan kebenaran yang sejati adalah Tuhan. Dengan
berpikir, manusia mengenal Tuhan dan mendekatkan diri kepada-Nya. Maka berpikir
adalah awal perjalanan ibadah, yang tanpanya ibadah menjadi tak bernilai. Abu
Muhammad Hasan az Zaki al Askari berkata, “Bukanlah ibadah itu banyaknya puasa
dan shalat, akan tetapi ibadah yang sesunggunya adalah selalu berpikir akan
ciptaan Allah Swt.”
Dalam Al Qur’an Majid surat Ali Imran: 190-191,
Allah Swt berfirman:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,
dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri
atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau. Maka lindungi kami
dari siksa neraka. (Q.S. Ali Imran [3]: 190-191.
Begitupun dalam Al Jaatsiyah: 13 dan surat An
Nahl: 10-11, Al Qur’an Suci menyebutkan;
Dan Dia menundukkan untukmu apa yang di langit
dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum
yang berpikir. (Q.S. Al Jaatsiyah [45]: 13)
Dia-lah, yang telah menurunkan air hujan dari
langit untukmu, sebagian menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan)
tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu gembalakan ternakmu. Dia
menumbuhkanmu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan
segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada
tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan. (Q.S. An Nahl [16]:
10-11)
Dalam Firman Allah Swt di atas, Al Qur’an Suci
menyebutkan bahwa segala yang Ia ciptakan adalah bukti kekuasaan-Nya, sebagai
perantara manusia untuk mengenal-Nya. Hanya dengan berpikir tentang
ciptaan-Nya, maka manusia dapat mengenal dan ber-taqarrub kepada-Nya.
Dan jika Kami menghendaki, sesungguhnya Kami
tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tapi dia cenderung kepada dunia,
menurutkan hasratnya yang rendah. Perumpamaannya seperti anjing, jika kamu
menghalaunya diulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia ulurkan
lidahnya (juga). Demikian perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat
Kami. Maka ceritakan kisah-kisah itu agar mereka berpikir. (Q.S.
Al A’raaf [7]: 176)
Tentang keutamaan berpikir, Rasulullah saww
bersabda, “Berpikir sesaat lebih baik dari ibadah setahun.”
Abu Dzar, sahabat setia Rasulullah saw
menyampaikan hadits Rasulullah saww yang berbunyi, “Ada 3 waktu untuk orang
yang berakal; Pertama, untuk bermunajat kepada Tuhannya. Kedua, untuk menghisab
dirinya. Ketiga, untuk memikirkan ciptaan Allah Swt.”
Dalam sebuah kesempatan, Rasulullah saww
bersabda kepada Abu Dzar; “Wahai Abu Dzar, shalat 2 rakaat yang dilakukan
dengan perenungan/ pemikiran (sehingga menghasilkan kehadiran hati) adalah
lebih baik dari shalat malam (qiyaamul lail) yang hatinya lalai.”
Tentang pentingnya berpikir, Sayyidina Ali bin
Abu Thalib mengatakan, “Berpikir yang engkau lakukan akan memberikan pemahaman
kepadamu dan memberikan pelajaran terhadapmu.” Dalam kesempatan lain, beliau
berkata, “Barangsiapa yang berpikir sebelum berbuat, akan selalu benar.” Begitu
pentingnya berpikir bagi manusia, karena ibadah meniscayakan didahulukan dengan
berpikir, terutama berpikir tentang ciptaan Allah Swt. Sayyidina Ali berkata,
“Tidak ada ibadah yang lebih utama seperti berpikir akan ciptaan Allah Swt.”
Beliau pun berkata, “Pemikiran adalah cermin
yang bersih.” Bagaikan sebuah cermin yang bersih, maka segala sesuatu yang ada
di hadapannya akan tampak dengan jelas. Begitu pula pemikiran yang bersih,
segala sesuatu yang dihasilkannya pasti adalah hal yang bersih yang bersumber pada
sesuatu yang bersih pula.
Berpikir merupakan hal yang membedakan orang
mukmin dengan orang dungu. Tentang hal ini Sayyidina Ali berkata, “Orang mukmin
berpikir dahulu baru berbicara, sementara orang yang dungu berbicara dahulu
baru berpikir.” Seorang yang mukmin pasti menggunakan akalnya sehingga
tak mungkin ia berbicara tanpa terlebih dahulu. Berbeda dengan orang yang dungu
yang tak menggunakan akalnya. Karena tidak didahulukan dengan berpikir, ia tak
memikirkan dampak dari ucapannya.
Cucu Rasulullah saww, Musa al Kazhim (salam
Allah Swt atasnya) berkata, “Setiap sesuatu pasti memiliki petunjuk, dan
petunjuk bagi orang yang berakal adalah berpikir. Petunjuk bagi orang yang
berpikir adalah diam.” Diamnya seseorang yang berakal adalah bukti bahwa ia
sedang berpikir, berpikir itu yang akan memberikan petunjuk baginya.
Ja’far ash Shadiq, guru dari empat Imam Mazhab
mengatakan, “Dari Kakekku Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, ia berkata,
‘Sesungguhnya berpikir itu menyeru pada kebaikan dan beramal dengannya.’”
Dalam wasiat beliau kepada putranya Al Husain,
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, “Wahai Anakku, berpikir mewariskan
cahaya, sementara lalai mewariskan kegelapan.”
Referensi:
Barharudin,
Paradigma Psikologi Islam
http://yayasanamirulmukminin.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar