BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Dunia pendidikan akhir-akhir
ini digoncangkan oleh fenomena yang tidak menggembirakan. Berbagai peristiwa
yang muncul dan memberikan pengaruh pada kehidupan peserta didik dalam hal
perilaku yang menyimpang seperti penggunaan obat terlarang, pelecehan seksual,
sikap agresif, tawuran, bullying dan lain-lain. Perilaku ini merupakan
manifestasi marah terhadap diri sendiri dan pihak lain dalam cara-cara
destruktif seperti depresi, adiksi (narkoba, minum-minuman keras, judi);
manifestasi fisik (masalah seksual: homo, gay; masalah kesehatan); degradasi
perilaku dan perilaku agresif (sindiran, menjatuhkan orang lain). Pemberitaan
di televisipun menyuguhkan tayangan tentang tindakan
amoral siswa, seperti
vandalism oleh siswa, pemerkosaan yang korban dan pelakunya siswa sekolah,
pencurian,perampokan,geng motor yang berakhir dengan perkelahian dengan senjata
tajam. Belum lagi kasus video porno yang ternyata 90% pelaku dan pembuatnya
adalah siswa remaja (Musfiroh,2008) seperti yang diungkapkan oleh Mutia Hatta
yang dilansir dalam Media Indonesia bahwa “Saat ini ada lebih dari 500 jenis
video porno yang telah beredar, yang 90% dibuat dan dilakukan oleh remaja
Indonesia yang masih berstatus pelajar (Media Indonesia,10 April 2008). Kasus
IPDN misalnya, diperkirakan sebesar 89,5% praja IPDN mengalami kasus penyiksaan
dan diantaranya terdapat 16 orang meninggal (Pikiran Rakyat, 2007). Fenomena
lain yang melanda siswa remaja bahwa sekitar 6-20 % siswa SMA dan mahasiswa di
Jakarta pernah melakukan hubungan seks pra nikah. Selain itu hasil penelitian
lain, menunjukan bahwa sebanyak 50% dari pengunjung klinik aborsi berusia 15-20
tahun, dan 44,5 % dari pengunjung klinik aborsi berusia antara 15-20 tahun itu
adalah hamil di luar nikah (Boyke, 1999).
Fenomena perilaku seks pra
nikah ini tidak hanya terjadi di Jakarta. Sebuah penelitian terhadap 37 remaja
berusia 16-20 tahun di Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat pada
tahun 1998, menunjukkan bahwa sekitar 80% telah melakukan perilaku seksual necking;
70% pernah melakukan petting; dan 65% pernah melakukan premarital
intercourse ( Nurhayati, 1998 ). Berdasarkan hasil penelitian Synovate
Research tentang perilaku seksual remaja di 4 kota dengan 450 responden,
yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan. 44% responden mengaku mereka sudah
pernah punya pengalaman seks di usia 16 sampai 18 tahun. Sementara 16%
lainnya mengaku pengalaman seks itu sudah mereka dapat antara usia 13 sampai 15
tahun(www.situs.deskespro.info.)
Kasus Narkoba di Indonesia
berdasarkan laporan Badan Nasional Anti Narkoba, pada tahun 2007 ditemui
sekitar 22.630 kasus. Di Jawa Barat sendiri, kasus narkoba masuk sebagai
peringkat ke IV dengan 1.086 kasus (BNN, 2007).
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah
diuraikan di atas, maka secara garis besar terdapat permasalahan yang dirumuskan,
yaitu:
1)
Apa apa peran bimbingan dan
konseling dalam mengembangkan karakter siswa?
1.3.
Tujuan
Tujuan dari makalah ini
adalah sebagai berikut:
1)
Mengetahui apa peran bimbingan dan konseling dalam mengembangkan
karakter siswa
1.4.
Manfaat
Hal-hal yang diperoleh dengan dan dari makalah ini yaitu pembaca
dapat mengetahui mengenai peran yang diberikan oleh bimbingan dan konseling
dalam mengembangkan karakter siswa.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Pendidikan dan Bimbingan
dan Konseling
Dalam
ssstem pendidikan Indonesia, dan ditegaskan dalam rambu-rambu penyelenggaraan
Bimbingan dan konseling di Indonesia (Diknas, 2008), layanan bimbingan dan
konseling merupakan bagian tidak terpisahkan dari s istem pendidikan nasional.
Bimbingan konseling, bahkan secara formal masuk dalam sistem pendidikan
nasional mulai tahun1975, yaitu pada saat diberlakukannya kurikulum 1975.
Bimbingan konseling merupakan s uatu profesi yang diharapkan akan dapat
membantu dan mendukung mengembangkan seluruh kemampuan siswa sesuai dengan
potensinya melalui layanan bimbingan dan konseling yang bersifat
psiko-pedagogis. Dengan demikian, layanan bimbingan dan konseling di sekolah
merupakan salah satu bentuk kegiatan pendidikan untuk pencapaian tujuan
pendidikan.
Dalam
pelaksanaan tugas, bimbingan dan konseling masih banyak mengalami gangguan dan
hambatan, mulai dari jumlah tenaga yang terbatas sehingga semua orang “merasa”
diperbolehkan melaksanakan tugas tersebut sampai dengan pelaksanaan layanan
bimbingan dan konseling yang belum optimal. Akibatnya, konselor (guru
pembimbing) masih atau sering dipersepsikan secara negatif . Konselor sebagai
polisi sekolah, guru pembimbing menakutkan, guru pembimbing hanya menangani
anak bermasalah.
Dalam
kondisi keterbatasan tersebut, konselor juga harus ikut mengambil bagian dalam
pendidikan karakter yang saat ini menjadi perhatian dan masuk dalam komponen
pembelajaran. Konselor sebagai bagian tidak terpisahkan dari pendidikan
nasional harus mengambil salah satu peran mensukseskan tugas tersebut. Namun,
berbagai k ondisi tersebut diatas, dapat menghambat tugas secara umum layanan
bimbingandan konseling dengan baik dan komprehensif . Penyelenggaraan
pendidikan karakter memerlukan pendekatan personal, baik dalam arti guru
pembimbing harus kompeten dan layak untuk dicontoh, disamping itu juga pada
umumnya para siswa akan ‘respek’ kepada mereka yang memiliki kedekatan secara
pribadi sehingga memudahkan terjadinya penyampaian pesan -pesan atau informasi
tentang pendidikan karakter. Menurut Mendiknas (2011) , “Karena pendidikan
adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti sebagai kekuatan
batin dan karakter, pikiran dan tubuh anak. Dan bagian ini tidak boleh
dipisahkan untuk memajukan kesempurnaan hidup”.
2.2.Pendidikan Karakter
Karakter (character)
mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors),
motivasi (motivations)
dan keterampilan (skilss). Karakter meliputi sikap seperti keinginan
untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual seperti
berfikir kritis dan alasan moral, perilaku seperti berkata jujur dan
bertanggungjawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh
ketidakadilan, kecakapan interpersonal dan emosional yang memungkinkan
seseorang berinteraksi secara efektif dalam berbagai keadaan dan komitmen untuk
berkontribusi dengan komunitas dan masyarakatnya. Karakteristik adalah
realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, social, emosional
dan etika). Individu yang berkarakter baik adalah seseorang yang berusaha
melakukan hal yang terbaik (Battistich,2008).
Kata
karakter berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai
dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk
tindakan atau tingkah laku (Wynne,1991). Karakter menurut Alwisol (2006:8)
diartikan sebagai gambaran tingkah laku yang menonjolkan nilai benarsalah,
baik-buruk, baik secara eksplisit maupun implicit. Karakter berbeda dengan
kepribadian, karena pengertian kepribadian dibebaskan dari nilai. Meskipun
demikian, baik kepribadian (personality) maupun karekter berwujud
tingkah laku yang ditunjukkan ke lingkungan sosial. Keduanya relativ permanen
menuntun, mengarahkan dan mengorganisasikan aktivitas individu Kilpatrick
(1992) dan Lickona (1991) merupakan pencetus utama pendidikan karakter. Keduanya
percaya adanya keberadaan moral absolute yang perlu diajarkan kepada generasi
muda agar faham betul mana yang baik dan benar. Kilpatrick dan Lickona yang
menyadari bahwa sesungguhnya terdapat nilai moral universal yang bersifat
absolute yang bersumber dari agama-agama di dunia, yang disebutnya sebagai “the
golden rule”, seperti berkata jujur, menolong orang, hormat orang tua dan
bertanggungjawab (Musfiroh,2008).
Griek
mengemukakan bahwa karakter dapat didefinisikan sebagai paduan dari segala
tabiat manusia yang bersifat tetap,
sehingga menjadi tanda yang khusus yang membedakan orang yang satu dengan yang
lain (Yus,2008). Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia tertulis bahwa karakter
adalah tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seorang dari yang lain. Menurut Ki Hajar Dewantara (1977) penggunaan kata
karakter dapat diartikan sebagai sifat dan jenis yang bermakna penggambaran
untuk mengenalkan suatu benda atau orang berdasarkan cirri atau tanda yang
terlihat. Karakter seseroang berkembang berdasarkan potensi yang dibawa sejak
lahir atau dikenal dengan karakter dasar yang bersifat biologis. Menurut
Dewantara (Yus,2008) aktualisasi karakter dalam bentuk perilaku sebagai hasil
perpaduan antara karakter biologis dengan hasil hubungan atau interaksi dengan
lingkungannya. Lickona (1991) mengemukakan bahwa karakter berkaitan dengan
konsep moral (moral knowing), sikap moral (moral feeling) dan
perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen tersebut
dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang
kebaikan, keinginan untuk berbuat baik dan melakukan perbuatan kebaikan.
Lickona (1991) selanjutnya menguraikan bahwa konsep moral memiliki komponen
kesadaran moral, pengetahuan moral, pandangan ke depan, penalaran moral,
pengambilan keputusan dan pengetahuan diri. Kemudian sikap moral memiliki
komponen kata hati, rasa percaya diri, empati, cinta, kebaikan, pengendalian
diri dan kerendahan diri. Sedangkan perilaku moral terdiri dari komponen moral
dimiliki seseorang akan membentuk karakter yang baik atau tangguh atau unggul.
Berikut Gambar 1, merupakan keterkaitan antara ketiga kompoen dalam rangka
pembentukan karakter yang baik menurut Lickona :
Posisi pendidikan sebagai pemberi masukan pengetahuan
tentang moral dan kebaikan kepada peserta didiknya, jelas menjadi rujukan
penting untuk pembentukan karakter siswa yang diharapkan. Dan salah satu
program pendidikan yang disusun untuk itu adalah Bimbingan dan Konseling yang
bertujuan untuk mendorong lahirnya peserta didik yang berperilaku baik. Siswa
yang tumbuh dalam karakter yang baik, maka melakukan sesuatu dengan benar dan
cenderung memiliki tujuan hidup. Hal ini sesuai dengan pendapat Battistich (2008) bahwa pendidikan karakter yang efektif
akan ditemukan di sekolah yang memungkinkan semua peserta didik menunjukkan
potensi mereka untuk mencapai tujuan yang sangat penting. Pendidikan karakter
menurut Heritage Foundation bertujuan membentuk manusia secara utuh
(holistic) yang karakter, yaitu
mengembangkan aspek fisik, emosi, social, kreativitas, spiritual dan
intelektual siswa secara optimal. Selain itu juga membentuk manusia yang lifelong
learners (pembelajar sejati).
2.3.Peran Konselor dalam Pendidikan
Karakter
Pendidikan
karakter merupakan tugas bersama dalam mencapai peningkatan capaian karakter.
Dua indicator pencapaian karakter, yaitu pada level individu siswa dan
institusi pendidikan. Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui
melalui pencapaian indikator oleh siswa sebagaimana tercantum dalam Standar
Kompetensi Lulusan, yang antara lain meliputi sebagai berikut:
·
Mengamalkan
ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja;
·
Memahami
kekurangan dan kelebihan diri sendiri;
·
Menunjukkan
sikap percaya diri;
·
Mematuhi
aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
·
Menghargai
keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup
nasional
·
Mencari dan
menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber -sumber lain secara
logis, kritis, dan kreatif;
·
Menunjukkan
kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
·
Menunjukkan
kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;
·
Menunjukkan
kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari
·
Mendeskripsikan
gejala alam dan sosial;
·
Memanfaatkan
lingkungan secara bertanggung jawab;
·
Menerapkan
nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia;
·
Menghargai
karya seni dan budaya nasional;
·
Menghargai
tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya;
·
Menerapkan
hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik;
·
Berkomunikasi
dan berinteraksi secara efektif dan santun;
·
Memahami
hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat;
·
Menghargai
adanya perbedaan pendapat;
·
Menunjukkan
kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana;
·
Menunjukkan
keterampilan menyimak, berbicara, membac a, dan menulis dalam bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris sederhana;
·
Menguasai
pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah;
·
Memiliki
jiwa kewirausahaan.
Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian
pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan
keseharian, dan simbol -simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan
masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut. Di dalam
rambu-rambu penyelenggaraan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan
formal (Depdiknas, 2007) dijelaskan bahwa pelayanan ahli bimbingan dan
konseling yang diampu oleh konselor sekolah berada dalam konteks tugas “kawasan
pelayanan yang bertujuan memandirikan siswa (individu) dalam memandu perjalanan
hidup mereka melalui pengambilan keputusan, memilih, meraih serta
mempertahankan karir.
Terkait dengan kegiatan pendidikan karakter
di sekolah, konselor sekolah wajib memfasilitasi pengembangan dan penumbuhan
karakter serta tanpa mengabaikan penguasaan hard skills lebih lanjut
yang diperlukan dalam perjalanan hidup serta dalam mempersiapkan karier. Oleh
karena itu, konselor Sekolah hendaknya merancangkan dalam program kegiatannya
untuk secara aktif berpartisipasi dalam pengembangan dan penumbuhan karakter
pada siswa. Kegiatan tersebut dapat dilakukan secara mandiri yang terancang
dalam program bimbingan dan konseling, dan juga bersama-sama dengan pendidik
lain (guru bidang studi misalnya) yang terancang dalam program sekolah yang
dilakukan secara sinergis dari beberapa pihak. Berkaitan dengan bentuk kegiatan
tersebut, layanan konseling dapat bersifat preventif, kuratif , preservative
atau pengembangan. ERIC Resource Center (www.eric.ed.gov)
menjelaskan bahwa jika pendidikan karakter diselenggarakan di sekol ah, maka
konselor sekolah akan menjadi pioner dan sekaligus koordinator program
tersebut. Hal itu karena konselor sekolah yang memang secara khusus memiliki
tugas untuk membantu siswa mengembangkan kepedulian sosial dan masalah-masalah
kesehatan mental, dengan demikian konselor sekolah harus sangat akrab dengan
program pendidikan karakter.
Pentingnya peran konselor sekolah dalam
pendidikan karakter, American School Counselor Association (ASCA) menyatakan:
“Professional school counselors need to take an active role in
initiating, facilitating and promoting character education programs in the
school curriculum. The professional school counselor, as apart of the school
community and as a highly resourceful person, takes an active role by working
cooperatively with the teachers and administration in providing character
education in the schools as an integral part of the school curriculum and
activities" (ASCA, 1998).
Dengan demikian, konselor sekolah perlu
untuk senantiasa memahami dan menyadari salah satu tugas pokoknya. Hal itu
tidak bisa dihindarkan karena hasil penelitian menunjukkan bahwa sebenarnya
program bimbingan dan konseling di sekolah pada dasarnya juga sudah
mengakomodasi materi tugas tersebut (Ryan, & Bohlin, 2000). Namun demikian,
ada beberapa pendapat menyatakan sebaliknya konselor sekolah hendaknya menjauhi
pendidikan karakter karena terasa bertentangan dengan kebebasan akademis, atau
bahkan menyalahi atau menyangkut keyakinan pribadi atau melanggar hak dan
perilaku pribadi. Konselor sekolah perlu memahami bahwa semua bentuk pendidikan
pasti berisi materi yang mengajarkan nilai–nilai kebaikan, kemanusiaan, dan
kehidupan yang pada hakekatnya itu semua adalah pendidikan karakter. Semakin
meningkatnya urgensi pendidikan karakter, maka konselor sekolah perlu memahami
tentang cara menggabungkan pendidikan karakter dalam program bimbingan dan
konseling. Jenis materi yang disarankan antara lain sebagai berikut.
1.
Tanggung
Jawab (Responsibility). Maksudnya
mampu mempertanggung jawabkan. Memiliki perasaan untuk memenuhi tugas dengan
dapat dipercaya,mandiri dan berkomitmen.
2.
Ketekunan
(Perseverance) Kemampuan
mencapai sesuatu dengan menentukan nilai-nilai obyektif disertai kesabaran dan
keberanian di saat menghadapi kegagalan.
3.
Kepedulian
(Caring). Kemampuan
menunjukkan pemahaman terhadap orang lain dengan memperlakukannya secara baik,
dengan belas kasih, bersikap dermawan, dan dengan semangat memaafkan.
4.
Disiplin
(Sef-Discipline) Kemampuan
menunjukkan hal yang terbaik dalam segala situasi melalui pengontrolan emosi,
kata-kata, dorongan, keinginan, dan tindakan.
5.
Kewarganegaraan
(Citizenship) Kemampuan
untuk mematuhi hukum dan terlibat dalam pelayanan kepada sekolah, masyarakat
dan negara.
6.
Kejujuran
(Honesty) Kemampuan
menyampaikan kebenaran, mengakui kesalahan, dapat dipercaya, dan bertindak
secara terhormat.
7.
Keberanian
(Courage) Bertindak
secara benar pada saat menghadapi kesulitan dan mengikuti hati nurani dari pada
pendapat orang banyak.
8.
Keadilan
(Fairness) Melaksanakan
keadilan sosial, ke-wajaran dan persamaan. Bekerja sama dengan orang lain.
Memahami keunikan dan nilai-nilai dari setiapIn dividu di dalam masyarakat.
9.
Rasa
Hormat (Respect) Menunjukkan
rasa hormat yang tinggi atas kewibawaan orang lain, diri sendiri, dan negara.
Ancaman kepada orang lain diterima sebagai ancaman juga kepada diri sendiri.
Memahami bahwa semua orang memiliki nilia-nilai kemanusiaan yang sama.
10.
Integritas
(Integrity) Suatu
ketegasan di dalam mentaati suatu nilai-nilai moral, sehingga menjadi jujur, dapat dipercaya, dan
penuh kehormatan (Wangid, 2010).
Pertimbangan bahwa konselor sekolah harus
berperan dalam pendidikan karakter diantaranya adalah bahwa Konselor Sekolah
sebagai pendidik , Ini adalah tugas dan fungsi dasar dari setiap
pendidik. Konselor merupakan salah satu jenis tenaga pendidik, sementara itu
salah satu fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan watak dan karakter
bangsa. Sementara itu, konselor adalah merupakan salah satu pendidik yang telah
diakui sebagai tenaga kependidikan.
Oleh karena itu, konselor sekolah sebagai representasi
pendidik jelas memiliki rasional yang kuat untuk menyampaikan pendidikan
karakter kepada siswa. Artinya, di pundak konselor sekolah pendidikan Karakter
telah menjadi salah satu tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan dalam
memberikan layanan bimbingan dan konseling. Bentuk pelaksanaan hal tersebut dapat
secara langsung maupun tidaklangsung. Secara langsung, konselor sekolah harus merancangkan
pelaksanaan pendidikan karakter dalam program kegiatannya. Melalui program yang
sudah dirancangkan dapat disusun berbagai macam kegiatan untuk menyampaikan
pesan-pesan pengembangan karakter siswa. Oleh karena itu, konselor sekolah
perlu memahami bagaimana caranya memilih, menyampaikan, dan memfasilitasi
program pendidikan karakter. Secara tidak langsung konselor sekolah dapat
menyampaikan nilai -nilai pendidikan karakter setiap ada ke sempatan untuk menyampaikannya,
artinya konselor sekolah harus menyelenggarkan di manapun dan kapanpun
melaksanakan tugasnya secara sadar atau ingat bahwa dirinya memiliki kewajiban
untuk melaksanakan pendidikan karakter dengan cara menyelipkan (terintegrasi)
dalam menunaikan tugasnya.
BAB III
PENUTUP
1.1. KESIMPULAN
Sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dalam dunia pendidikan, Konselor sekolah memiliki
tugas yang sangat dekat dan erat dengan misi pendidikan karakter. Kedekatan dan
keeratan kewajiban konselor sekolah terhadap pendidikan karakter terlihat
secara jelas dari bidang gerak bimbingan dan konseling yang berimplikasi bahwa
konselor sekolah secara substantif dan fungsional memiliki tugas yang tidak
terelakkan. Konselor sekolah di Indonesia baik secara langsung maupun tidak
langsung berkewajiban menyelenggarakan program pelayanan bimbingan dan
konseling yang bernuansa nilai-nilai pendidikan karakter. Konselor harus
menyiapkan diri untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi sebangai bentuk
sinergi pelaksanaan pendidikan karakter. Konselor hendaknya mengembangkan
nilai-nilai pendidikan karakter melalui kegiatan konseling yang dilakukannya
1.2 SARAN
Disarankan
untuk menggali lebih dalam lagi mengenai peran bimbingan dan konseling
membangun karakter siswa. Yang bersumber dari buku-buku atau sumber-sumber yang
lebih terpercaya dan lebih mutawatir.
DAFTAR
PUSTAKA
American School Counseling Association. 1998. American
School Counseling Association's Position Statement on Character Education .http://www.schoolcounselor.org/content.cfm?L1=1000&L2=7
.
Depdiknas. (2008). Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2008 Tentang Standar Kualifikasi
Akademik Dan Kompetensi Konselor. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. (2007b). Rambu-Rambu Penyelenggaraan
Pendidikan Profesional Konselor. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi. ERIC Resource Center ED475389 2003 -06-00 Character Education: What
Counselor Educators Need To Know. ERIC/CASS Digest. www.eric.ed.gov.
Sofyan S. Willis. 2008. “Guru BK tak Perlu Beri
Solusi” . Pikiran Rakyat 17 Pebruari 2008. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/042006/07/0702.htm.
Wangid, 2010, Peran Konselor Sekolah Dalam Pendidikan
Karakter , UNY
Bagus paper nya...
BalasHapus