Minggu, 28 Oktober 2012

Bimbingan Konseling untuk Mengembagkan Karakter Siswa

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.            Latar Belakang
Dunia pendidikan akhir-akhir ini digoncangkan oleh fenomena yang tidak menggembirakan. Berbagai peristiwa yang muncul dan memberikan pengaruh pada kehidupan peserta didik dalam hal perilaku yang menyimpang seperti penggunaan obat terlarang, pelecehan seksual, sikap agresif, tawuran, bullying dan lain-lain. Perilaku ini merupakan manifestasi marah terhadap diri sendiri dan pihak lain dalam cara-cara destruktif seperti depresi, adiksi (narkoba, minum-minuman keras, judi); manifestasi fisik (masalah seksual: homo, gay; masalah kesehatan); degradasi perilaku dan perilaku agresif (sindiran, menjatuhkan orang lain). Pemberitaan di televisipun menyuguhkan tayangan tentang tindakan
amoral siswa, seperti vandalism oleh siswa, pemerkosaan yang korban dan pelakunya siswa sekolah, pencurian,perampokan,geng motor yang berakhir dengan perkelahian dengan senjata tajam. Belum lagi kasus video porno yang ternyata 90% pelaku dan pembuatnya adalah siswa remaja (Musfiroh,2008) seperti yang diungkapkan oleh Mutia Hatta yang dilansir dalam Media Indonesia bahwa “Saat ini ada lebih dari 500 jenis video porno yang telah beredar, yang 90% dibuat dan dilakukan oleh remaja Indonesia yang masih berstatus pelajar (Media Indonesia,10 April 2008). Kasus IPDN misalnya, diperkirakan sebesar 89,5% praja IPDN mengalami kasus penyiksaan dan diantaranya terdapat 16 orang meninggal (Pikiran Rakyat, 2007). Fenomena lain yang melanda siswa remaja bahwa sekitar 6-20 % siswa SMA dan mahasiswa di Jakarta pernah melakukan hubungan seks pra nikah. Selain itu hasil penelitian lain, menunjukan bahwa sebanyak 50% dari pengunjung klinik aborsi berusia 15-20 tahun, dan 44,5 % dari pengunjung klinik aborsi berusia antara 15-20 tahun itu adalah hamil di luar nikah (Boyke, 1999).
Fenomena perilaku seks pra nikah ini tidak hanya terjadi di Jakarta. Sebuah penelitian terhadap 37 remaja berusia 16-20 tahun di Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat pada tahun 1998, menunjukkan bahwa sekitar 80% telah melakukan perilaku seksual necking; 70% pernah melakukan petting; dan 65% pernah melakukan premarital intercourse ( Nurhayati, 1998 ). Berdasarkan hasil penelitian Synovate Research tentang perilaku seksual remaja di 4 kota dengan 450 responden, yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan. 44% responden mengaku mereka sudah pernah punya pengalaman seks di usia 16 sampai 18 tahun. Sementara 16% lainnya mengaku pengalaman seks itu sudah mereka dapat antara usia 13 sampai 15 tahun(www.situs.deskespro.info.)
Kasus Narkoba di Indonesia berdasarkan laporan Badan Nasional Anti Narkoba, pada tahun 2007 ditemui sekitar 22.630 kasus. Di Jawa Barat sendiri, kasus narkoba masuk sebagai peringkat ke IV dengan 1.086 kasus (BNN, 2007).



1.2.            Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka secara garis besar terdapat permasalahan yang dirumuskan, yaitu:
1)      Apa apa peran bimbingan dan konseling dalam mengembangkan karakter siswa?

1.3.            Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1)   Mengetahui apa peran bimbingan dan konseling dalam mengembangkan karakter siswa

1.4.            Manfaat
Hal-hal yang diperoleh dengan dan dari makalah ini yaitu pembaca dapat mengetahui mengenai peran yang diberikan oleh bimbingan dan konseling dalam mengembangkan karakter siswa.

BAB II
PEMBAHASAN


2.1.Pendidikan dan Bimbingan dan Konseling

Dalam ssstem pendidikan Indonesia, dan ditegaskan dalam rambu-rambu penyelenggaraan Bimbingan dan konseling di Indonesia (Diknas, 2008), layanan bimbingan dan konseling merupakan bagian tidak terpisahkan dari s istem pendidikan nasional. Bimbingan konseling, bahkan secara formal masuk dalam sistem pendidikan nasional mulai tahun1975, yaitu pada saat diberlakukannya kurikulum 1975. Bimbingan konseling merupakan s uatu profesi yang diharapkan akan dapat membantu dan mendukung mengembangkan seluruh kemampuan siswa sesuai dengan potensinya melalui layanan bimbingan dan konseling yang bersifat psiko-pedagogis. Dengan demikian, layanan bimbingan dan konseling di sekolah merupakan salah satu bentuk kegiatan pendidikan untuk pencapaian tujuan pendidikan.
Dalam pelaksanaan tugas, bimbingan dan konseling masih banyak mengalami gangguan dan hambatan, mulai dari jumlah tenaga yang terbatas sehingga semua orang “merasa” diperbolehkan melaksanakan tugas tersebut sampai dengan pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling yang belum optimal. Akibatnya, konselor (guru pembimbing) masih atau sering dipersepsikan secara negatif . Konselor sebagai polisi sekolah, guru pembimbing menakutkan, guru pembimbing hanya menangani anak bermasalah.
Dalam kondisi keterbatasan tersebut, konselor juga harus ikut mengambil bagian dalam pendidikan karakter yang saat ini menjadi perhatian dan masuk dalam komponen pembelajaran. Konselor sebagai bagian tidak terpisahkan dari pendidikan nasional harus mengambil salah satu peran mensukseskan tugas tersebut. Namun, berbagai k ondisi tersebut diatas, dapat menghambat tugas secara umum layanan bimbingandan konseling dengan baik dan komprehensif . Penyelenggaraan pendidikan karakter memerlukan pendekatan personal, baik dalam arti guru pembimbing harus kompeten dan layak untuk dicontoh, disamping itu juga pada umumnya para siswa akan ‘respek’ kepada mereka yang memiliki kedekatan secara pribadi sehingga memudahkan terjadinya penyampaian pesan -pesan atau informasi tentang pendidikan karakter. Menurut Mendiknas (2011) , “Karena pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti sebagai kekuatan batin dan karakter, pikiran dan tubuh anak. Dan bagian ini tidak boleh dipisahkan untuk memajukan kesempurnaan hidup”.

2.2.Pendidikan Karakter
Karakter (character) mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations) dan keterampilan (skilss). Karakter meliputi sikap seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual seperti berfikir kritis dan alasan moral, perilaku seperti berkata jujur dan bertanggungjawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh ketidakadilan, kecakapan interpersonal dan emosional yang memungkinkan seseorang berinteraksi secara efektif dalam berbagai keadaan dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan masyarakatnya. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, social, emosional dan etika). Individu yang berkarakter baik adalah seseorang yang berusaha melakukan hal yang terbaik (Battistich,2008).
Kata karakter berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku (Wynne,1991). Karakter menurut Alwisol (2006:8) diartikan sebagai gambaran tingkah laku yang menonjolkan nilai benarsalah, baik-buruk, baik secara eksplisit maupun implicit. Karakter berbeda dengan kepribadian, karena pengertian kepribadian dibebaskan dari nilai. Meskipun demikian, baik kepribadian (personality) maupun karekter berwujud tingkah laku yang ditunjukkan ke lingkungan sosial. Keduanya relativ permanen menuntun, mengarahkan dan mengorganisasikan aktivitas individu Kilpatrick (1992) dan Lickona (1991) merupakan pencetus utama pendidikan karakter. Keduanya percaya adanya keberadaan moral absolute yang perlu diajarkan kepada generasi muda agar faham betul mana yang baik dan benar. Kilpatrick dan Lickona yang menyadari bahwa sesungguhnya terdapat nilai moral universal yang bersifat absolute yang bersumber dari agama-agama di dunia, yang disebutnya sebagai “the golden rule”, seperti berkata jujur, menolong orang, hormat orang tua dan bertanggungjawab (Musfiroh,2008).
Griek mengemukakan bahwa karakter dapat didefinisikan sebagai paduan dari segala tabiat  manusia yang bersifat tetap, sehingga menjadi tanda yang khusus yang membedakan orang yang satu dengan yang lain (Yus,2008). Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia tertulis bahwa karakter adalah tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seorang dari yang lain. Menurut Ki Hajar Dewantara (1977) penggunaan kata karakter dapat diartikan sebagai sifat dan jenis yang bermakna penggambaran untuk mengenalkan suatu benda atau orang berdasarkan cirri atau tanda yang terlihat. Karakter seseroang berkembang berdasarkan potensi yang dibawa sejak lahir atau dikenal dengan karakter dasar yang bersifat biologis. Menurut Dewantara (Yus,2008) aktualisasi karakter dalam bentuk perilaku sebagai hasil perpaduan antara karakter biologis dengan hasil hubungan atau interaksi dengan lingkungannya. Lickona (1991) mengemukakan bahwa karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knowing), sikap moral (moral feeling) dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen tersebut dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik dan melakukan perbuatan kebaikan. Lickona (1991) selanjutnya menguraikan bahwa konsep moral memiliki komponen kesadaran moral, pengetahuan moral, pandangan ke depan, penalaran moral, pengambilan keputusan dan pengetahuan diri. Kemudian sikap moral memiliki komponen kata hati, rasa percaya diri, empati, cinta, kebaikan, pengendalian diri dan kerendahan diri. Sedangkan perilaku moral terdiri dari komponen moral dimiliki seseorang akan membentuk karakter yang baik atau tangguh atau unggul. Berikut Gambar 1, merupakan keterkaitan antara ketiga kompoen dalam rangka pembentukan karakter yang baik menurut Lickona :




 Posisi pendidikan sebagai pemberi masukan pengetahuan tentang moral dan kebaikan kepada peserta didiknya, jelas menjadi rujukan penting untuk pembentukan karakter siswa yang diharapkan. Dan salah satu program pendidikan yang disusun untuk itu adalah Bimbingan dan Konseling yang bertujuan untuk mendorong lahirnya peserta didik yang berperilaku baik. Siswa yang tumbuh dalam karakter yang baik, maka melakukan sesuatu dengan benar dan cenderung memiliki tujuan hidup. Hal ini sesuai dengan pendapat Battistich  (2008) bahwa pendidikan karakter yang efektif akan ditemukan di sekolah yang memungkinkan semua peserta didik menunjukkan potensi mereka untuk mencapai tujuan yang sangat penting. Pendidikan karakter menurut Heritage Foundation bertujuan membentuk manusia secara utuh (holistic) yang  karakter, yaitu mengembangkan aspek fisik, emosi, social, kreativitas, spiritual dan intelektual siswa secara optimal. Selain itu juga membentuk manusia yang lifelong learners (pembelajar sejati).

2.3.Peran Konselor dalam Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter merupakan tugas bersama dalam mencapai peningkatan capaian karakter. Dua indicator pencapaian karakter, yaitu pada level individu siswa dan institusi pendidikan. Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh siswa sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan, yang antara lain meliputi sebagai berikut:
·         Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja;
·         Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri;
·         Menunjukkan sikap percaya diri;
·         Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
·         Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional
·         Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber -sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif;
·         Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
·         Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;
·         Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari
·         Mendeskripsikan gejala alam dan sosial;
·         Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab;
·         Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia;
·         Menghargai karya seni dan budaya nasional;
·         Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya;
·         Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik;
·         Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun;
·         Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat;
·         Menghargai adanya perbedaan pendapat;
·         Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana;
·         Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membac a, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana;
·         Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah;
·         Memiliki jiwa kewirausahaan.
Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya  sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol -simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut. Di dalam rambu-rambu penyelenggaraan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal (Depdiknas, 2007) dijelaskan bahwa pelayanan ahli bimbingan dan konseling yang diampu oleh konselor sekolah berada dalam konteks tugas “kawasan pelayanan yang bertujuan memandirikan siswa (individu) dalam memandu perjalanan hidup mereka melalui pengambilan keputusan, memilih, meraih serta mempertahankan karir.
Terkait dengan kegiatan pendidikan karakter di sekolah, konselor sekolah wajib memfasilitasi pengembangan dan penumbuhan karakter serta tanpa mengabaikan penguasaan hard skills lebih lanjut yang diperlukan dalam perjalanan hidup serta dalam mempersiapkan karier. Oleh karena itu, konselor Sekolah hendaknya merancangkan dalam program kegiatannya untuk secara aktif berpartisipasi dalam pengembangan dan penumbuhan karakter pada siswa. Kegiatan tersebut dapat dilakukan secara mandiri yang terancang dalam program bimbingan dan konseling, dan juga bersama-sama dengan pendidik lain (guru bidang studi misalnya) yang terancang dalam program sekolah yang dilakukan secara sinergis dari beberapa pihak. Berkaitan dengan bentuk kegiatan tersebut, layanan konseling dapat bersifat preventif, kuratif , preservative atau pengembangan. ERIC Resource Center (www.eric.ed.gov) menjelaskan bahwa jika pendidikan karakter diselenggarakan di sekol ah, maka konselor sekolah akan menjadi pioner dan sekaligus koordinator program tersebut. Hal itu karena konselor sekolah yang memang secara khusus memiliki tugas untuk membantu siswa mengembangkan kepedulian sosial dan masalah-masalah kesehatan mental, dengan demikian konselor sekolah harus sangat akrab dengan program pendidikan karakter.
Pentingnya peran konselor sekolah dalam pendidikan karakter, American School Counselor Association (ASCA) menyatakan:
Professional school counselors need to take an active role in initiating, facilitating and promoting character education programs in the school curriculum. The professional school counselor, as apart of the school community and as a highly resourceful person, takes an active role by working cooperatively with the teachers and administration in providing character education in the schools as an integral part of the school curriculum and activities" (ASCA, 1998).
Dengan demikian, konselor sekolah perlu untuk senantiasa memahami dan menyadari salah satu tugas pokoknya. Hal itu tidak bisa dihindarkan karena hasil penelitian menunjukkan bahwa sebenarnya program bimbingan dan konseling di sekolah pada dasarnya juga sudah mengakomodasi materi tugas tersebut (Ryan, & Bohlin, 2000). Namun demikian, ada beberapa pendapat menyatakan sebaliknya konselor sekolah hendaknya menjauhi pendidikan karakter karena terasa bertentangan dengan kebebasan akademis, atau bahkan menyalahi atau menyangkut keyakinan pribadi atau melanggar hak dan perilaku pribadi. Konselor sekolah perlu memahami bahwa semua bentuk pendidikan pasti berisi materi yang mengajarkan nilai–nilai kebaikan, kemanusiaan, dan kehidupan yang pada hakekatnya itu semua adalah pendidikan karakter. Semakin meningkatnya urgensi pendidikan karakter, maka konselor sekolah perlu memahami tentang cara menggabungkan pendidikan karakter dalam program bimbingan dan konseling. Jenis materi yang disarankan antara lain sebagai berikut.
1.            Tanggung Jawab (Responsibility). Maksudnya mampu mempertanggung jawabkan. Memiliki perasaan untuk memenuhi tugas dengan dapat dipercaya,mandiri dan berkomitmen.
2.            Ketekunan (Perseverance) Kemampuan mencapai sesuatu dengan menentukan nilai-nilai obyektif disertai kesabaran dan keberanian di saat menghadapi kegagalan.
3.            Kepedulian (Caring). Kemampuan menunjukkan pemahaman terhadap orang lain dengan memperlakukannya secara baik, dengan belas kasih, bersikap dermawan, dan dengan semangat memaafkan.
4.            Disiplin (Sef-Discipline) Kemampuan menunjukkan hal yang terbaik dalam segala situasi melalui pengontrolan emosi, kata-kata, dorongan, keinginan, dan tindakan.
5.            Kewarganegaraan (Citizenship) Kemampuan untuk mematuhi hukum dan terlibat dalam pelayanan kepada sekolah, masyarakat dan negara.
6.            Kejujuran (Honesty) Kemampuan menyampaikan kebenaran, mengakui kesalahan, dapat dipercaya, dan bertindak secara terhormat.
7.            Keberanian (Courage) Bertindak secara benar pada saat menghadapi kesulitan dan mengikuti hati nurani dari pada pendapat orang banyak.
8.            Keadilan (Fairness) Melaksanakan keadilan sosial, ke-wajaran dan persamaan. Bekerja sama dengan orang lain. Memahami keunikan dan nilai-nilai dari setiapIn dividu di dalam masyarakat.
9.            Rasa Hormat (Respect) Menunjukkan rasa hormat yang tinggi atas kewibawaan orang lain, diri sendiri, dan negara. Ancaman kepada orang lain diterima sebagai ancaman juga kepada diri sendiri. Memahami bahwa semua orang memiliki nilia-nilai kemanusiaan yang sama.
10.        Integritas (Integrity) Suatu ketegasan di dalam mentaati suatu nilai-nilai moral,  sehingga menjadi jujur, dapat dipercaya, dan penuh kehormatan (Wangid, 2010).

Pertimbangan bahwa konselor sekolah harus berperan dalam pendidikan karakter diantaranya adalah bahwa Konselor Sekolah sebagai pendidik , Ini adalah tugas dan fungsi dasar dari setiap pendidik. Konselor merupakan salah satu jenis tenaga pendidik, sementara itu salah satu fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan watak dan karakter bangsa. Sementara itu, konselor adalah merupakan salah satu pendidik yang telah diakui sebagai tenaga kependidikan.
Oleh karena itu, konselor sekolah sebagai representasi pendidik jelas memiliki rasional yang kuat untuk menyampaikan pendidikan karakter kepada siswa. Artinya, di pundak konselor sekolah pendidikan Karakter telah menjadi salah satu tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling. Bentuk pelaksanaan hal tersebut dapat secara langsung maupun tidaklangsung. Secara langsung, konselor sekolah harus merancangkan pelaksanaan pendidikan karakter dalam program kegiatannya. Melalui program yang sudah dirancangkan dapat disusun berbagai macam kegiatan untuk menyampaikan pesan-pesan pengembangan karakter siswa. Oleh karena itu, konselor sekolah perlu memahami bagaimana caranya memilih, menyampaikan, dan memfasilitasi program pendidikan karakter. Secara tidak langsung konselor sekolah dapat menyampaikan nilai -nilai pendidikan karakter setiap ada ke sempatan untuk menyampaikannya, artinya konselor sekolah harus menyelenggarkan di manapun dan kapanpun melaksanakan tugasnya secara sadar atau ingat bahwa dirinya memiliki kewajiban untuk melaksanakan pendidikan karakter dengan cara menyelipkan (terintegrasi) dalam menunaikan tugasnya.

BAB III
PENUTUP

1.1.  KESIMPULAN
Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam dunia pendidikan, Konselor sekolah memiliki tugas yang sangat dekat dan erat dengan misi pendidikan karakter. Kedekatan dan keeratan kewajiban konselor sekolah terhadap pendidikan karakter terlihat secara jelas dari bidang gerak bimbingan dan konseling yang berimplikasi bahwa konselor sekolah secara substantif dan fungsional memiliki tugas yang tidak terelakkan. Konselor sekolah di Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung berkewajiban menyelenggarakan program pelayanan bimbingan dan konseling yang bernuansa nilai-nilai pendidikan karakter. Konselor harus menyiapkan diri untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi sebangai bentuk sinergi pelaksanaan pendidikan karakter. Konselor hendaknya mengembangkan nilai-nilai pendidikan karakter melalui kegiatan konseling yang dilakukannya
1.2  SARAN
Disarankan untuk menggali lebih dalam lagi mengenai peran bimbingan dan konseling membangun karakter siswa. Yang bersumber dari buku-buku atau sumber-sumber yang lebih terpercaya dan lebih mutawatir.

DAFTAR PUSTAKA


American School Counseling Association. 1998. American School Counseling Association's Position Statement on Character Education .http://www.schoolcounselor.org/content.cfm?L1=1000&L2=7 .

Depdiknas. (2008). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2008 Tentang Standar Kualifikasi Akademik Dan Kompetensi Konselor. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. (2007b). Rambu-Rambu Penyelenggaraan Pendidikan Profesional Konselor. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. ERIC Resource Center ED475389 2003 -06-00 Character Education: What Counselor Educators Need To Know. ERIC/CASS Digest. www.eric.ed.gov.

Sofyan S. Willis. 2008. “Guru BK tak Perlu Beri Solusi” . Pikiran Rakyat 17 Pebruari 2008. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/042006/07/0702.htm.

Wangid, 2010, Peran Konselor Sekolah Dalam Pendidikan Karakter , UNY

1 komentar:

Bagaimana pendapat anda mengenai Blog ini???